Sekujur tubuh tua,
Bersidai di jalanan, meminta;
Jemarinya menadah simpati,
Di sisi kota, tiada peduli,
Pun dengan dirinya yang tidak punya latar sejarah.
Sebatang tubuh kecil,
Berparut di siku, berdarah di lutut,
Pandangannya redup membujuk intuisi,
Air mata jadi aset, memohon simpati,
Sepotong roti atau sekeping not biru,
Batang tubuh itu sudah lama menahan diri,
Melawan dinginnya kabus kota,
Yang bergulung memukul kulitnya,
Nipis dan berjelaga.
Seorang wanita separuh usia,
Berjalan mengalunkan punggungnya,
Di tepian jalan, badan jadi jualan,
Makanan si jantan hina,
Sehina dirinya yang memberi makan.
Di suatu lorong,
Seorang lelaki berkopiah putih lusuh,
Menyelongkar segenap tong-
Tong sampah hijau,
Itulah peti rezeki,
Tempatnya mengutip tin-tin remuk,
Atau sekadar helaian akhbar kosong,
Jadi selimut anak-anaknya.
Seorang lelaki: mendesah,
Cucukan jarum ternyata membawanya ke syurga,
Hanyut dalam fatamorgana dunia.
Tenggelam dalam keasyikan euforia,
Akhirnya lemas dijerut bisa morfin, dadah; dibelit,
Temali kedana.
No comments:
Post a Comment